Barru, 14 Oktober 2024 – Jelang Pilkada 2024, dinamika politik Barru memanas dengan munculnya mutasi besar-besaran di kalangan pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN). Langkah mutasi ini memicu kecurigaan banyak pihak, yang menilai adanya upaya sistematis dari Bupati Barru untuk melanggengkan kekuasaan keluarga dengan menempatkan anaknya sebagai penerus melalui Pilkada. Sampai hari ini belum ada klarifikasi dari Bupati Barru terkait yang menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat Barru yang terdampak dan melihat di media massa.
Mengacu pada Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tindakan mutasi enam bulan sebelum Pilkada tanpa persetujuan tertulis dari Menteri jelas melanggar aturan. Namun, sejumlah pejabat penting dikabarkan tiba-tiba dipindahkan atau diganti, sementara mereka yang diduga memiliki afiliasi kuat dengan keluarga Bupati justru mendapat promosi. Masyarakat Barru melihat ini sebagai langkah terencana untuk memastikan loyalitas birokrasi berada di tangan calon Bupati yang tak lain adalah anak dari petahana.
“Ini jelas bentuk politisasi birokrasi,” ujar salah satu tokoh masyarakat yang menolak disebutkan namanya. “Bupati tampak melakukan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan keluarganya, bahkan dengan risiko mengorbankan profesionalisme ASN.”
Jika benar terbukti bahwa mutasi ini dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, Bupati Barru tidak hanya menghadapi sanksi administrasi, tetapi juga ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 190 UU No. 10 Tahun 2016. Dalam ketentuan tersebut, kepala daerah yang melanggar dapat dikenakan pidana penjara hingga enam bulan atau denda maksimal Rp6.000.000.
Di tengah eskalasi politik ini, banyak pihak mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) segera turun tangan dan memastikan bahwa proses Pilkada Barru tidak diwarnai oleh taktik kotor yang hanya menguntungkan satu pihak. Pertarungan politik ini bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi juga soal menjaga integritas dan keadilan bagi masyarakat Barru.