Barru, 17 Oktober 2024 – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Barru 2024, suasana politik memanas dengan gelombang mutasi yang mendadak terjadi di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Sejumlah PNS yang selama 10 tahun terakhir setia mendukung kebijakan dan kepemimpinan petahana, kini merasa ‘dibalas’ dengan pemindahan jabatan yang terkesan politis.
Mutasi ini menciptakan keresahan di kalangan ASN karena terjadi hanya beberapa bulan sebelum pemilihan. Mereka mempertanyakan alasan mutasi yang dianggap tidak berdasarkan penilaian kinerja, melainkan sebagai taktik kekuasaan untuk mengamankan kemenangan calon bupati yang merupakan anak petahana.
Salah seorang ASN yang enggan disebutkan namanya mengatakan, “Kami telah bekerja keras mendukung visi dan misi pemerintah daerah selama ini, namun tiba-tiba kami dimutasi ke jabatan yang lebih rendah atau dipindahkan ke daerah yang jauh. Ini terasa seperti hukuman, padahal kami telah loyal selama bertahun-tahun.”
Isu ini menimbulkan spekulasi bahwa mutasi tersebut bukanlah langkah pembenahan birokrasi yang murni, melainkan bagian dari strategi politik yang dijalankan untuk memperkuat pengaruh calon tertentu. Sang anak petahana, yang kini mencalonkan diri sebagai bupati, diduga ingin memastikan dukungan ASN dan perangkat daerah tetap solid di balik layar, bahkan jika itu berarti ‘menyingkirkan’ mereka yang dianggap kurang mendukung pencalonannya.
Seorang pengamat politik lokal mengungkapkan, “Mutasi massal menjelang Pilkada selalu menciptakan tanda tanya. Dalam konteks ini, mutasi bisa dilihat sebagai upaya petahana untuk mengamankan jalannya anaknya menuju kursi bupati, dengan cara memanfaatkan birokrasi dan jabatan strategis yang ada di Kabupaten Barru.”
Beberapa tokoh masyarakat juga mulai mempertanyakan integritas pemilihan kali ini, mengingat banyaknya pegawai negeri yang dipindahkan tanpa alasan yang jelas. Mereka khawatir bahwa politisasi birokrasi akan merusak netralitas pemerintahan dan berpotensi menciptakan ketidakadilan dalam Pilkada.
“Jika benar mutasi ini dilakukan untuk tujuan politik, maka ini sangat merugikan masyarakat. Kepala daerah seharusnya menjamin birokrasi yang profesional dan netral, bukan digunakan untuk kepentingan pribadi atau keluarga,” ujar salah seorang tokoh masyarakat.
Dalam konteks Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang secara tegas melarang kepala daerah melakukan mutasi ASN dalam waktu enam bulan sebelum penetapan calon hingga akhir masa jabatan, banyak pihak kini mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi ASN untuk melakukan penyelidikan terhadap mutasi yang terjadi di Barru.
Gelombang mutasi ini tak hanya menciptakan ketidakpastian bagi ASN, namun juga memunculkan pertanyaan besar di tengah masyarakat Barru. Apakah ini benar-benar upaya untuk meningkatkan efektivitas birokrasi, atau justru sebuah taktik politik untuk melanggengkan kekuasaan di tangan keluarga petahana?
Hanya waktu yang akan memberikan jawaban, namun untuk saat ini, dugaan adanya ‘taktik kekuasaan’ terus berhembus di Kabupaten Barru, mengiringi jalannya kontestasi politik menuju Pilkada 2024.